Pages

Selasa, 07 Mei 2013

SUKU DAYAK KALIMANTAN BARAT



SUBSUKU DAN KEBIASAAN SUKU DAYAK DI KALIMANTAN BARAT
Orang Dayak yang ada di Kalimantan Barat terdiri dari berbagai subsuku dan bahasa, bahkan di dalam subsuku ini pun masih terbagi lagi kedalam sub-subsuku. Pengelompokan ini didasarkan pada perbedaan yang ada di masyarakat Dayak baik dari bahasa yang mereka gunakan maupun dari budayanya, hal ini bisa dilihat misalnya antara kampung/wilayah yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan dalam hal bahasa yang mereka gunakan dalam pergaulan sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian etnolinguistik yang dilakukan oleh Institut Dayakologi selama 10 tahun sejak tahun 1997, ditemukan bahwa di Kalimantan Barat ini ada 151 subsuku Dayak kemudian ada 100 sub-subsukunya dan 168 Bahasa Dayak. Penelitian tersebut secara garis besar mengelompokkan subsuku Dayak berdasarkan bahasa yang digunakan kedalam beberapa rumpun bahasa seperti rumpun Bidayuhik, Ibanik, Melayik, dan lainnya.
Berikut subsuku Dayak yang ada di Kalimantan Barat:

1.DAYAK ANGAN
Subsuku Dayak Angan adalah subsuku Dayak yang bermukim di wilayah adat atau Binua Angan di Kabupaten Landak. Wilayah adat Angan berbatasan langsung dengan Kecamatan Balai, Batang Tarang di Kabupaten Sanggau.
Bahasa yang dituturkan oleh orang Angan ini adalah bahasa Angan Ba-aye’. Bahasa Ba-aye’ menyebar sampai ke Kecamatan Balai dan Tayan. Di daerah Tayan dan Sosok, bahasa Angan Ba-aye’ tersebut disebut juga bahasa Mali. Penduduk yang menuturkan bahasa ini disebut orang Dayak Mali.
Adapun kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Angan ini adalah Kampung Angan Tembawang, Angan Limau, Angan Tutu, Angan Landak, Angan Pelanjau, Angan Rampan, dan Angan Bangka.
Jumlah penutur bahasa Angan menurut data kecamatan pada saat penelitian dilaksanakan adalah sebanyak 1.499 jiwa. Jumlah ini terdiri dari laki-laki sebanyak 746 jiwa dan perempuan sebanyak 753 jiwa. Jumlah kepala keluarganya sebanyak 248 ditambah dengan 150 kepala keluarga di Binua Rentawan dan Sengkunang. Subsuku Dayak Angan sudah berada di Binua Angan sejak zaman nenek moyang mereka dulu. Jadi, mereka merupakan penduduk asli di tempat yang sekarang ini mereka huni.
Suku Dayak Angan masih mempunyai beberapa tradisi upacara adat yang unik, salah satunya upacara adat Notokng.


2.DAYAK BADAT
Dayak Badat adalah salah satu suku Dayak yang tinggal di Kabupaten Sanggau di Perbatasan Sarawak Malaysia Timur. Jaraknya hanya enam kilometer dengan Kampong Tringgos. Sedangkan jarak pemukiman suku ini dari Kecamatan Entikong kurang lebih 40 kilometer.
Meskipun tidak terlalu jauh jaraknya,tetapi tidak ada jalan darat. Untuk menjangkau pemukiman suku ini tidaklah mudah, bahkan lebih mudah dari Malaysia meskipun berjalan kaki melewati hutan dan mendaki Gunung Peneresen. Sarana transportasi hanyalah melalui jalur Sungai Sekayam yang berliku-liku dan banyak riam. Alat transportasinya berupa motor tempel yang kapasitasnya minimal 15 PK supaya dapat melawan arus riam dan gelombang yang tingginya terkadang mencapai lima meter.
Perjalanan untuk menjangkau pemukiman suku ini juga memakan waktu sekitar 10-12 jam. Kemudian, orang harus berjalan kaki lagi kira-kira dua jam, barulah sampai ke pemukimannya yang terletak di lereng gunung. Dayak Badat sebagaimana disinggung pada pembahasan Dayak Sikukng, banyak memiliki kemiripan dengan suku Dayak yang ada di sekitarnya. Bahkan kelompok ini dikelompokkan juga dalam kelompok Sungkung Kompleks.
Sedangkan bahasa suku Dayak Badat biasa juga disebut bahasa Badat. Secara umum bahasa Badat memperlihatkan ciri-ciri Bidayuhik. Bahkan kelompok ini dapat saling paham dengan beberapa bahasa yang dituturkan Dayak Gun, Sikukng, Suruh, Sontas, maupun Dayak Entabang.
Wilayah penyebaran Dayak Badat di Kabupaten Sanggau hanya tersebar di Kecamatan Entikong, Perbatasan Sarawak, Malaysia. Mereka ini bermukim di hulu Sungai Sekayam dekat Gunung Peneresen.
Adapun wilayah pemukiman suku Badat hanya terdiri dari dua kampung saja, yaitu Kampung Badat Lama yang terletak di puncak gunung dan Badat Baru yang berada di lereng gunung.
Jumlah penutur bahasa Badat di kedua kampung ini, saat penelitian ini dilakukan berjumlah 543 jiwa. Sejarah asal-usul penyebaran Dayak Badat secara rinci sudah tidak diketahui lagi oleh para tetua suku ini. Mereka hanya dapat mengingat bahwa mereka pertama kali bermukim di muara Sungai Banan yang mengalir di Sungai Sekayam.
Pemukiman suku ini pada zaman dulu selalu berpindah-pindah. Perpindahan itu ada yang mencari tempat baru agar kelangsungan hidup mereka terjamin. Selain itu, ada juga anggota masyarakat suku ini yang mencari penghidupan di Negeri Sarawak di kawasan Tringgos, seperti di Senah Tupoy, Senah Simutih, dan Sader. Setelah lama menetap di muara sungai ini, kemudian mereka pindah ke pemukimannya yang baru yaitu Kampung Badat.

3.DAYAK BAKATI'
Dayak Bakati’ tersebar di Kabupaten Sambas dan Bengkayang. Subsuku Dayak ini memperlihatkan banyaknya frekuensi pengucapan perkataan kati’ ‘tidak’ dalam percakapan mereka sehari-hari. Seluruh subsuku Dayak yang menuturkan bahasa Bakati ini juga disebut orang Kanayatn atau Kanayat. Di samping itu, wilayah Bakati’ juga mengenal penamaan berdasarkan wilayah adat atau binua/banoe, maka ada suku Dayak Kanayatn Bakati Sebiha' dan lain sebagainya. Proses penamaan subsuku Dayak di wilayah ini melibatkan aspek bahasa dan geografis. Dalam uraian ini, subsuku Dayak Bakati’ dijabarkan ke dalam berbagai subnya lagi yaitu :
  1. Dayak Bakat i’ Kanayatn Satango
  2. Dayak Bakat i’ Kuma
  3. Dayak Bakat i’ Lape
  4. Dayak Bakat i’ Lumar
  5. Dayak Bakat i’ Palayo
  6. Dayak Bakat i’ Payutn
  7. Dayak Bakat i’ Rara
  8. Dayak Bakat i’ Riok
  9. Dayak Bakat i’ Sara
  10. Dayak Bakat i’ Sebiha’
  11. Dayak Bakat i’ Subah
  12. Dayak Bakat i’ Taria
4.DAYAK BALANTIATN
Dayak Balantiatn adalah salah satu subsuku Dayak yang tinggal di wilayah adat atau Binua Balantiatn di Kabupaten Landak. Mereka ada juga yang berada di Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau.
Balantiatn merupakan nama sungai yang mengalir melewati wilayah ini. Bahasa yang dituturkan oleh orang-orang Balantiatn adalah bahasa Balantiatn-Banyadu'. Bahasa ini tidak lain adalah bahasa yang juga dituturkan oleh orang-orang Banyadu’ di wilayah adat Banokng Satona-Banyuke. Hal ini tidak mengherankan karena orangorang Balantiatn-Banyadu’ sebetulnya tidak lain adalah orang-orang Banyadu’. Mereka dari wilayah Menyuke yang berpindah ke wilayah Behe/Dait.
Kepindahannya adalah karena menahan serangan orang-orang di wilayah atas, seperti Sungkung, Tengon, dan Sempatung yang sering mengayau pada zaman dulu di wilayah Behe/Dait. Kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Balantiatn adalah Kampung Angkadu’, Tapis Baru, Tapis Tembawang, Amparayan, Kersik Balantiatn, Tainam, Sansa, Pagong Belantian, Tanjung Petahi, dan Engkalong.
Menurut data dari kecamatan, mereka berjumlah 2.200 orang. Menurut tradisi lisan dari masyarakat setempat, diketahui bahwa suku ini menyebar ke Binua Balantiatn karena perpindahan sebuah kampung secara gaib.
Kampung itu diangkat oleh hantu dan dipindahkan ke Binua Balantiatn. Perpindahan ini terjadi pada malam hari sewaktu penduduk sedang tidur. Versi lain mengatakan, bahasa ini muncul karena ada sekelompok orang yang mabuk sesudah makan jamur beracun. Sewaktu mabuk itu, mereka meracau (bicara tak tentu arah) dan hasilnya muncul bahasa baru yang merupakan bahasa mereka sekarang ini.
Namun, informasi yang dianggap sahih untuk menerangkan perpindahan orang-orang Banyadu’ ke wilayah ini adalah peristiwa perang antarsubsuku Dayak (bakayo) yang secara dominan menentukan proses perpindahan. Menurut cerita, orang-orang Behe/Dait yang merasa terancam karena sering diserang oleh orang-orang dari wilayah perbukitan akhirnya meminta bantuan kepada orang-orang dari wilayah Menyuke untuk mengamankan wilayahnya. Karena itulah mereka kemudian diberikan hadiah berupa tanah yang terletak di sepanjang Sungai Balantiatn.
Sementara itu, ada pula Dayak Balantiatn yang bermukim di Kabupaten Sanggau. Mereka ini merupakan penyebaran dari subsuku Dayak Balantiatn yang umumnya terdapat di Kecamatan Serimbu, Kabupaten Landak. Di Kabupaten Sanggau suku ini terdapat bagian hulu Sungai Tayan di Kecamatan Tayan Hulu atau Sosok yang secara geografis berbatasan langsung dengan Kabupaten Landak.
Di Kecamatan Tayan Hulu, Kabupaten Sanggau, kelompok ini hidup membaur dengan subsuku Dayak Pruwan yang bermukim di bagian hulu Sungai Tayan.
Adapun tempat pemukiman subsuku Dayak Balantiatn di Kecamatan Tayan Hulu adalah di Kampung Berakak, Raman, Tapang, Sejirak, Pragong, Pangkalatn, Mansan, dan Sei Ringin. Jumlah penutur di situ kurang lebih sekitar 2.720 jiwa.

5.Dayak Banyadu'
Di Kabupaten Bengkayang, suku Dayak yang menuturkan bahasa Banyadu hanya terdapat di Kecamatan Teriak, Ledo, dan Seluas. Hal ini dikarenakan mereka ikut program transmigrasi lokal. Di tanah asal-usulnya di Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, suku Dayak ini dikenal dengan nama suku Dayak Banyuke-Banyadu’.
Mereka tinggal di wilayah adat atau Binua Banokng Satona’ yang terletak di hulu aliran Sungai Menyuke. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa Banyadu’. Bahasa ini secara kebahasaan tergolong dalam rumpun bahasa Bidayuhik (Wurm dan Hatorri, 1983).
Dayak Banyadu’ di Taria’ sesungguhnya merupakan Dayak Manyuke (Banyuke) yang berbahasa Banyadu’ di wilayah Sungai Menyuke. Wilayah penyebaran Dayak Banyadu' Taria', terdapat di wilayah adat Taria'. Kampung-kampung yang termasuk ke dalam wilayah adat Taria' adalah Kampung Madas-Taria', Tamia’ Sio, Antibak (Santibak), dan Paranuk-Takalokng. Mereka berjumlah 1.573 jiwa.
Walaupun pada mulanya, penyebaran orang Dayak Banyadu’ Taria’ ini hanya di empat buah kampung, namun dalam perkembangan selanjutnya mereka menyebar lebih luas lagi. Hal ini salah satunya karena mereka mengadakan kawin campur dengan subsuku Dayak yang lain. Faktor perkawinan ini juga sebagai sarana persebaran bahasa yang mereka miliki.
Dayak Banyadu’ yang ada di Kampung Teria’ dan ketiga kampung lainnya di Kecamatan Teriak merupakan perpindahan Dayak Banyadu’ yang ada di Binua Banokng Satona’. Mula-mula kelompok ini memang bermukim di sepanjang hulu Sungai Menyuke (Banyuke) kemudian berpindah ke arah hilir Sungai Menyuke, yaitu di daerah Kampet, Timakng Bale, dan Pangao’. Di antara mereka ada kelompok orang Banyadu’ yang masuk jauh ke dalam ke arah selatan Kota Bengkayang, yaitu ke Kampung Balacatn, Sabah, Barinang Mayun, dan Titi Tarekng.
Dari Kampung Barinang Mayun, Titi Tarekng, dan sekitarnya inilah mereka kemudian menyebar ke Kampung Tamia’ Sio, Antibak, Madas, dan Paranuk. Perpindahan ini dikarenakan oleh berbagai faktor, misalnya membuka ladang dan melarikan diri pada zaman bakayo dulu. Pada waktu itu Kampung Taria’ yang berada di tepi jalan dihuni oleh orang Cina. Perkataan Taria’ itu sendiri berasal dari perkataan teriak yang diambil dari suatu kejadian ada orang Cina yang berteriak-teriak di tepi Sungai Taria’ sekarang ini.
Perpindahan kelompok Dayak Banyadu’ ke Kampung Teriak di tepi jalan terjadi baru-baru ini, yaitu sesudah terjadi Demonstrasi Cina 1967. Pada waktu itu di Kecamatan Bengkayang diperintah oleh Camat Ahi. Atas saran beliau, orang-orang Banyadu’ yang tinggal agak jauh dari jalan raya dianjurkan agar pindah ke tepi jalan. Sejak itulah terjadi perpindahan ke Kampung Taria’ (Teriak).
Perlu digarisbawahi bahwa pada masa itu, kawasan ini didiami oleh orang-orang Cina. Hubungan antara orang-orang Cina dengan orang Dayak pada waktu itu cukup baik, walaupun orang-orang Dayak hanya sebagai suruhan, buruh, atau pembantu.
Hal ini terjadi sampai pada peristiwa politik awal Rezim Soeharto, yaitu pemberontakan G30S/PKI yang disusul oleh gerakan PGRS/PARRAKU oleh orang-orang komunis. Tentara Indonesia (RPKAD) pada waktu itu tidak berdaya menghadapi pemberontak komunis yang bersembunyi di hutan-hutan sepanjang Perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat.
Menurut penuturan informan di sekitar kaki Gunung Niut, diketahui jika ada seratus orang tentara Indonesia yang naik bukit untuk menyerang orang-orang komunis, hanya sekitar sepuluh orang yang selamat. Sisanya menjadi bangkai. Mereka menggelar operasi teritorial dengan melibatkan orang-orang Dayak untuk mendemo orang-orang Cina. Demonstrasi ini rupanya tidak terkontrol dan memang terkesan dibiarkan oleh pihak keamanan.

6.Dayak Banyuke
Di Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak terdapat Dayak Banyuke. Mereka telah bercampur dengan subsuku Dayak yang lain yang berbahasa Balangint. Di wilayah ini terdapat gabungan beberapa subsuku, seperti Dayak Banyuke, Dait, Behe, dan Sempatung.
Dalam percakapan sehari-hari terutama di dalam keluarga masing-masing, mereka masih menggunakan bahasa ibu mereka. Di dalam pergaulan sehari-hari, pemakaian bahasa bersifat situasional. Akan tetapi, frekuensi pemakaian terbanyak menggunakan bahasa Banyuke (Ba-ampape) bercampur dengan bahasa Balangint. Secara kebahasaan, bahasa ini digolongkan ke dalam rumpun bahasa Melayik.
Jumlah penutur bahasa gabungan antara sub-subsuku Dayak tersebut sebanyak 1.468 orang yang terdiri dari laki-laki 711 orang dan perempuan 757 orang. Data ini diambil di Kantor Kecamatan Air Besar berdasarkan hasil pendataan penduduk pada bulan September 1998.
Para penutur bahasa-bahasa ini tinggal di sebuah kampung, yang bernama Kampung Nyari, di Kecamatan Air Besar. Kampung ini dapat didatangi dengan berjalan kaki atau bersampan. Menurut cerita legenda pada zaman bakayo dulu, terjadi perang kayo antara orang Dait dengan orang-orang Sekayam. Dalam bakayo tersebut, orang-orang Dait mengalami kekalahan dan kecemasan. Untuk itu, mereka minta bantuan kepada orang-orang Banyuke untuk melawan orang-orang Sekayam. Orang-orang Banyuke setuju membantu orang Dait dengan suatu perjanjian. Jika mereka menang mereka akan dapat hadiah.
Berangkatlah orang-orang Banyuke tersebut berperang melawan orang-orang Sekayam. Dalam peperangan itu, orang Banyuke keluar sebagai pemenang. Hadiahnya adalah tanah sapamaransoatn, yaitu sebidang tanah yang luasnya dari titik pertama langkah kaki, berjalan selama satu hari dan akan berakhir sampai di titik yang pertama tadi. Kampung tersebut sekarang ini bernama Kampung Nyari.
Di Kabupaten Sanggau, kelompok ini tersebar di Kecamatan Kembayan, yaitu di Kampung Empaot, Sekumpai, Segok, Ongok, Sei Rambai, Tanak, dan Sei Bayur/Tanjung Harapan. Sedangkan di Kecamatan Toba hanya terdapat sebuah kampung saja, yaitu di Kampung Mangkup.
Sementara itu, di Kecamatan Tayan Hulu terdapat di Kampung Galong, Engkasan, dan Tengkawang. Adapun jumlah penutur bahasa Banyuke di Kabupaten Sanggau ini diperkirakan berjumlah 4.090 jiwa. Penyebaran penduduk yang dilakukan oleh sekelompok orang yang membentuk satu kesatuan komunitas dan mempraktikkan adat-istiadat/budaya dari tempat asalnya, biasanya tidak menghilangkan identitas asal, termasuk bahasa yang dituturkannya.
Hal inilah yang terjadi pada sekelompok masyarakat yang berasal dari subsuku Dayak Banyuke di Kabupaten Landak (dulu Kabupaten Pontianak) yang melakukan migrasi ke “Tanah Dara Nante” Kabupaten Sanggau. Mereka dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok Banyuke Kembayan dan Banyuke Teraju.
Banyuke Kembayan masih satu kesatuan wilayah geografis dengan wilayah asal-usulnya. Bahkan jika belum ada batas kabupaten kemungkinan wilayah yang ditempatinya saat ini masih merupakan wilayah adat mereka. Namun yang menarik ialah kelompok Banyuke Teraju yang melakukan migrasi di tengah masyarakat subsuku Dayak Desa sekitar tahun 1950-an yang lalu. Kelompok suku ini terpisah jauh dengan daerah asal-usulnya di Kabupaten Landak yang merantau di wilayah subsuku Desa, yaitu di Kampung Dawak.
Pada mulanya mereka hidup damai dan membaur dengan subsuku Dayak Desa. Namun lama-kelamaan terjadi perbedaan persepsi tentang budaya ngayap5. Kelompok Dayak Banyuke ini sulit menerima budaya ini. Karena hidup di perantauan, akhirnya mereka mencari daerah pemukiman yang baru. Mereka awalnya hanya enam kepala keluarga. Akhirnya mereka mencari tempat pemukiman baru yang sekarang disebut Kampung Mangkup yang terletak di Kecamatan Toba. Subsuku Dayak Banyuke ini selain menyebar ke Sanggau, juga menyebar ke berbagai binua yang masih berada di Kabupaten Landak. Subsuku tersebut yaitu;
  1. Dayak Banyuke-Angkabakng
  2. Dayak Banyuke-Banokng
  3. Dayak Banyuke-Moro Batukng
  4. Dayak Banyuke-Sakanis
  5. Dayak Banyuke-Satolo
  6. Dayak Banyuke-Satona ’
  7. Dayak Banyuke -Songga Batukng
7.Dayak Barai
Berdasarkan pemukimannya, orang Barai terdiri dari tiga macam, yaitu orang Barai Hulu, Hilir, dan Darat. Orang Barai Hilir ada di Kampung Natai Tebedak, Melati, Dolet, Tekam, Nanga Lidau, Ranap, Begendang, Tuwau, Suka Maju, Mungguk Jenang, dan Telangkin.
Orang Barai Hulu ada di Kampung Natai Ruak, Terongin, Engkerangan, Sungai Akar, Natai Mulan, Nyapuk, dan Ubai. Orang Barai Darat ada di Kampung Natai Umbing, Senibung, Songgang, Utai, Talai, Sankai, Natai Panjang, dan Telesai. Di Dedai juga ada orang Barai, yaitu di Kampung Kancin, Semprini, Tumpu II, Mengkirai, Lidung. Mereka ini merupakan orang Barai Melawi Hilir. Ada pendapat bahwa asal orang Barai itu dari Daratan Batu Baru.
Bahasanya memiliki ciri bekotu’ bekoya’. Jika dibandingkan, orang Barai Hulu dan Melawi bahasanya dapat dikatakan sama, hanya logatnya berbeda. Kalau di hulu bunyi [i] pada akhir kata cenderung menjadi bunyi [e] pepet pada orang Barai di Melawi.
Sementara itu, jika didasarkan pada adat perkawinannya, orang Barai dikelompokkan menjadi dua, yaitu Ladau dan Tengkanyai. Kalau di Barai Ladau, istri tidak boleh ikut suami, kalau ikut maka suami harus bayar adat sebuah tempayan. Sementara itu di Tengkanyai, istri boleh ikut tinggal di keluarga suami tanpa bayar adat.
Yang menonjol dari orang Barai adalah bahwa mereka tidak pernah mengayau dan tidak pernah bermusuhan. Jika terjadi perang, orang Barai tidak pernah mendahuluinya. Semua kampung dulunya dipagar dengan pelantik ‘semacam jebakan’.
Jumlah orang Barai diperkirakan sebanyak 9.880 jiwa dan ini tersebar di dua kecamatan, yaitu di Kecamatan Kayan Hilir, Kabupaten Sintang dan di Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi (data diolah berdasarkan sumber data statistik kecamatan dan data desa tahun 1998) Orang Barai mengakui bahwa mereka tidak tahu pasti dari mana asalusul mereka yang sebenarnya.
Ada sebuah kisah yang mengatakan bahwa pada dulunya manusia di daerah ini berasal dari satu keturunan. Lalu pada suatu hari, mereka makan sejenis kulat dan tak lama setelah itu mereka pada mabuk kulat dan akhirnya berbicara dengan bahasa yang bermacammacam.
Ternyata di antara bahasa itu ada beberapa kelompok yang mempunyai bahasa yang sama, sehingga akhirnya masing-masing kelompok yang bisa saling mengerti itu lalu memisahkan diri dan hidup terpisah dari kelompok lainnya dan salah satu dari kelompok tadi adalah orang Barai.
Adapun kesenian yang dimiliki orang Barai adalah bejali, beduda, bebonek, beadoi, bedudu anak, bepantun, bedudai, dan bekanjan. Ada berbagai ketrampilan yang dimiliki oleh orang Barai. Salah satunya adalah menyumpit



8.Dayak Batu Entawa
Subsuku Batu Entawa’ merupakan salah satu subsuku Dayak yang berada di Kampung Posin, Kecamatan Tanah Pinoh, Kabupaten Melawi. Kalau dilihat dari jumlah penduduknya, jelas subsuku Batu Entawak ini sangatlah kecil.
Namun, mereka mengakui diri sebagai subsuku tersendiri. Mereka diperkirakan berjumlah 474 jiwa atau 2,22% dari penduduk Kecamatan Tanah Pinoh.
Pemukiman orang Batu Entawak ini dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan air. Setelah sampai ke Kota Baru sebagai Ibukota Kecamatan Tanah Pinoh, orang memudiki Sungai Raya hingga sampai ke Kampung Posin. Belum ada informasi mengenai asal-usul orang Batu Entawa’ ini. Sejarah keberadaan, penyebaran, bahasa, dan adat-istiadatnya masih belum digali.

9.Dayak Baya
Dayak Baya adalah kelompok masyarakat yang bermukim di Kampung Baya di Kabupaten Ketapang. Kampung ini terletak di pinggir Sungai Liboh, anak Sungai Banjur.
Kelompok masyarakat ini secara kultural dapat dikategorikan pada kelompok masyarakat Dayak Banjur, karena adat-istiadat dan beberapa tradisi lisan pada kelompok masyarakat ini umumnya sama dengan adat dan tradisi orang Banyur. Oleh karena itu, terkadangmereka mengidentitaskan kelompoknya sebagai Dayak Banjur.
Namun dilihat dari aspek bahasa yang tuturkan, baik dari segi logat dan kosa kata yang digunakan, penutur bahasa subsuku Dayak Baya banyak memiliki perbedaan dengan penutur bahasa Banjur. Bahasa Baya lebih memperlihatkan kedekatan dengan bahasa Gerai maupun bahasa Laur. Oleh karena perbedaan aspek bahasa inilah kelompok masyarakat ini dikenal di wilayah Kecamatan Simpang Hulu dibedakan dengan istilah “orang Baya”.
Tempat pemukiman orang Baya terletak di pedalaman hulu Sungai Banjur, tepatnya di kaki Gunung Bukit Daya. Sebelum beroperasinya perusahaan HPH Kawedar yang menggarap hutan mereka, hanya terdapat jalan setapak yang menghubungkan Kampung Baya dengan Kemora dan Banjur.
Pemukiman mereka ini sukar dijangkau dengan roda dua. Jumlah penutur bahasa Baya di perkirakan berjumlah 234 jiwa. Jumlah ini tidak termasuk orang Baya yang bermukim di Kampung Kemora karena mereka yang tinggal di kampung ini cenderung menuturkan bahasa Dayak Banjur versi Kemora.

10.Dayak Beginci
Subsuku Dayak Beginci berada di pinggiran Sungai Batang Kawa (perbatasan dengan Kalimantan Tengah). Mereka menyebut diri sebagai orang Dayak Beginci. Selain di Beginci Darat, tepatnya di Lubuk Kakap, orang Beginci juga dijumpai di Kampung Baru yang mendiami Sungai Bihak.
Mereka yang bermukim di Sungai Bihak tetap menyebut dirinya bagian dari subsuku Dayak Beginci atau orang Beginci. Pada saat penelitian ini berlangsung, jumlahnya 720 jiwa.
Asal-usul suku Dayak Beginci, konon ceritanya bukan berasal dari wilayah Kalimantan Barat. Wilayah ini dulu merupakan wilayah kekuasaan Raja Kalimantan Tengah. Namun sehubungan ada persoalan perkara besar yang mengakibatkan Kerajaan tersebut tidak mampu membayar denda perkara adat, maka wilayah ini digunakan untuk membayar denda tersebut. Selain wilayah ini juga diserahkan beberapa barang-barang berharga yang berupa gong, ketawak, dan tempayan. Sampai saat ini barang-barang antik ini masih banyak dijumpai di Kampung Beginci Darat.

11.Dayak Behe
Dayak Behe adalah subsuku Dayak yang bermukim di Binua Behe. Kata Behe itu sendiri sebenarnya diambil dari nama sungai dan kemudian dipakai untuk menamakan sebuah binua. Binua Behe tidak dibatasi oleh batas wilayah kecamatan. Berdasarkan aliran Sungai Behe, binua ini terdapat di tiga kecamatan, yaitu di Kecamatan Air Besar, Kecamatan Meranti', dan Kecamatan Ngabang.
Sungai Behe merupakan sungai tempat pertemuan anak-anak sungai kecil lainnya, termasuk anak Sungai Dait. Semua aliran sungai-sungai ini bermuara di Sungai Landak.
Bahasa yang dituturkan oleh orang-orang Behe adalah bahasa Behe Balangint. Bahasa Behe Balangint termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayik. Bahasa ini memang berasal dari Binua Behe dan menyebar di sepanjang aliran Sungai Behe dan anak-anak sungainya. Hal ini diketahui dari bahasa yang dituturkan di semua kampung yang terletak di sepanjang aliran Sungai Behe dan beberapa sungai yang terdapat di Kecamatan Air Besar. Bahasa Behe menyebar di hampir seluruh Kecamatan Air Besar.
Jumlah penutur Bahasa Behe Balangint, yang terdapat di Binua Behe di Kecamatan Air Besar sebanyak 6.402 jiwa. Sedangkan jumlah penutur bahasa Balangint secara keseluruhan di Kecamatan Air Besar sebanyak 22.405 jiwa. Jumlah ini masih ditambah dengan kampung-kampung lain di Binua Behe yang terletak di Kecamatan Ngabang dan Kecamatan Air Besar.
Adapun kampungkampung yang tergabung ke dalam Binua Behe adalah Kampung Kuala Behe (ada Melayu), Bangkup, Nyawan, Senuang, Kurnia, Nyayum, Engkoje, Leban, Paku Raya, Jawat, Engkalong, Langsat, Permiit, Sebangar, Terap, Opo, Ayud, Ansari, Reo Behe, Angkanyar, Entobo, Mamo, Bata, Ipuh, Manggam, Pesak, Sehe Lusur, Sehe Embuluh, Manggam Bati, Bengawan Ampar, Pangkalan Pansi’, Sejowet, Sebaro, Panit, Berangan PaloKandis, Senuang, Nyawan, Langsat, Permiit, Tanjung Balai, Ayud, Sabangar, Entobok, Sengangkam, Bacang onse, Terap, Ansari, Angkanyar, Reo Behe, Ipoh, Bata, Mamo, Kedama (Melayu), Sehe Embuluh, Sehe usur, Pansi’, Bengawan Ampar, Sabaro, Panit, dan M. Pesak. Dayak Behe memang berasal dari Binua Behe. Suku ini sejak dari nenek moyang mereka memang telah tinggal di wilayah Behe.

12.Dayak Benawas
Dayak Benawas adalah salah satu kelompok masyarakat yang bermukim di Sungai Benawas yang mengalir di wilayah Kecamatan Sekadau Hilir dan Sekadau Hulu. Suku ini menyebut dirinya Dayak Benawas berdasarkan nama sungai yang menjadi tumpuan hidup mereka. Suku ini tersebar di 12 kampung yang hidup berdampingan dengan suku Desa, Kerabat, Sekujam, dan Dayak Jawatn. Adapun jumlah atau populasi suku ini diperkirakan sekitar 5.536 jiwa.
Menurut suku-suku yang ada di sekitarnya, Dayak Benawas mendapat perhatian khusus dari Kerajaan Sekadau. Kelompok suku ini bahkan dibebaskan dari pajak (upeti) oleh pihak kerajaan.

13.Dayak Bi Somu
Sebagian kecil orang Dayak Bi Somu bermukim di Kecamatan Kembayan. Sementara itu, di Kecamatan Noyan, mereka merupakan mayoritas. Bi Somu hakikatnya berasal dari perkataan Bi dan Somu. Bi artinya ‘orang’ dan Somu artinya ‘atas’ atau ‘darat’. Terminologi ini didasarkan atas letak geografis kelompok masyarakat ini yang umumnya bermukim di daerah dataran tinggi. Adapun wilayah penyebaran orang Bi Somu adalah sebagai berikut.
  1. Kecamatan Kembayan meliputi Kampung Sei Bun, Sejuah, Terusan, Sepantap,Ngalo, Roja, Nanga Jugan,Mobui, Mobui, Oba, Sebuduh, Semadu,dan Kerosik.
  2. Kecamatan Noyan meliputi Kampung Noyan, Entobu, Mayan, Empoto,
Subu, Dasan, Serakin, Monok, Kerasik, Tidu, Ensingo, Petungun, Idas, Telogah, Entawa Mata, Kelampai, Sei Merah, Tatai Tukuh, Kobuk, Koli, Sei Dangin, Doroi, Periji, Tukun, Langka, Ngira, Pulau Poda, Emputih, Semongan, Mabit, dan Minso’.
14.Dayak Bihak
Bihak adalah nama sungai yang terkenal berarus riam di wilayah administratif Kecamatan Sandai. Di sepanjang sungai ini terdapat beberapa hunian kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai orang Bihak.
Karena Bihak yang dijadikan dasar identitas beberapa kelompok masyarakat suku Dayak, sehingga bahasa yang dituturkan juga disebut bahasa Bihak.
Bahasa Bihak cenderung memperlihatkan adanya variasi-variasi meskipun kosa-kata yang digunakan sama. Dalam hal ini, kosa kata yang sama, ada yang dituturkan dalam tempo yang lambat atau halus dan ada yang dituturkan dalam tempo yang cepat atau kasar.
Jumlah penutur bahasa Bihak pada saat penelitian ini berlangsung di perkirakan berjumlah 1.689 jiwa. Penutur bahasa tersebut terdapat pada hunian subsuku Dayak di sepanjang Sungai Bihak yang meliputi Kampung Cinta Manis, Pendulangan, Riam Dadap, Aur Gading, Sekukun, Batu Lapis, dan Beginci Laut/Sira.
Menurut cerita masyarakat Bihak, pada zaman kerajaan yang berkuasa di Kecamatan Sandai, kelompok masyarakat ini pernah bermukim di Sungai Pawatn. Namun demikian, lama-kelamaan tidak tahan dengan perbudakan raja dan pemberlakuan pajak blesting, lalu kelompok subsuku ini melakukan perpindahan yang dirasakan aman. Lalu dipilihlah Sungai Bihak. Mereka yakin para prajurit raja tidak bisa menjangkau daerah tersebut, karena arus deras Sungai Bihak.
 15.Dayak Bubung
Dayak Bubung atau yang juga disebut Dayak Bentiang adalah termasuk pecahan Dayak Tengon dari Kumba/Bidayuh. Mereka sudah mengalami pembauran dengan penduduk di sekitarnya, yang bukan keturunan orang Sungkung.
Bahasa Bubung biasa juga disebut bahasa Badeneh. Bahasa ini dituturkan oleh orang-orang yang tinggal di Perkampungan Bentiang serta orang-orang yang pindah dari Perkampungan Bentiang ke kampung-kampung di sekitarnya.
Wilayah penyebaran subsuku Dayak Bubung terdapat di Perkampungan Bentiang yang terdiri dari empat kampung, ditambah dengan kampungkampung lain yang menjadi tempat penyebaran suku ini, yaitu Kampung Bentiang Samokong, Bentiang Samame’, Bentiang Sijanjung, Bentiang Ma’ Domong, Jangkak, serta India’.
Berdasarkan data sensus penduduk dari kantor camat pada bulan September 1998, jumlah penduduk yang menuturkan bahasa Bubung (Badeneh) sebanyak 870 orang yang terdiri dari 459 laki-laki dan 411 perempuan ditambah dengan penduduk di Kampung Jangkak dan India’.
Bentiang adalah nama yang diberikan oleh pemerintah untuk Kampung Bubung. Kampung Bubung merupakan kampung asli orang Bentiang, sedangkan penduduk setempat menyebut kampung mereka Kedo’. Bentiang pada zaman dulu terbagi menjadi empat kampung, yaitu Kampung Bubung (Bentiang Asli), Asem, India’, dan Jangkak.
Ceritanya, pada zaman dahulu kala ada sebuah kampung yang bernama Kampung Sigayoi. Kampung ini terletak di hulu Sungai Pade. Pada waktu itu, terjadi perselisihan antarkampung, yaitu antara Kampung Sigayoi dan Kampung Jangkak. Perselisihan ini tidak kunjung selesai baik lewat jalur musyawarah maupun jalur hukum adat. Hal ini menimbulkan situasi yang kian memanas. Untuk menyelesaikan perselisihan ini, orang-orang dari Kampung Sigayoi menuangkan racun di sungai tempat orang Jangkak mandi dan mengambil air minum. Hal ini tentu sangat mudah dilakukan karena orang Kampung Sigayoi tinggal di hulu sungai.
Sesudah menuangkan racun tersebut, terjadilah kematian yang misterius di kampung tersebut. Penduduk yang masih selamat, pindah ke Kampung Pare, Kampung Jangkok, dan Kampung Suti. Pada akhirnya di Kampung Jangkak hanya tertinggal dua kepala keluarga. Karena merasa jumlah mereka sedikit akhirnya kedua kepala keluarga ini mencari orang-orang Bentiang untuk tinggal di kampungnya. Orang Bentiang itu namanya Katun dan Biau.
Si Biau merasa kampung mereka ini masih kurang orang. Dengan demikian, Katun disuruh memanggil lagi sanak saudaranya untuk tinggal di Kampung Bubung. Nama Biau diabadikan menjadi nama kampung, yaitu Kampung Sebiau.
Namun, dengan kuasa si Katun sebagai seorang Timanggong, Kampung Sebiau ini diubah menjadi Kampung Jangkak. Bahasa mereka yang pada mulanya disebut bahasa Suti Bamayo’ berubah menjadi bahasa Bubung (Bentiang) Badeneh. Sekarang ini, Bubung yang asli Bentiang terbagi menjadi Bentiang Sijanjung, Bentiang Semokong, Bentiang Ma’ Domong, dan Bentiang Semame’ ditambah Jangkak, dan India’ (Silia’).
 16.Dayak Bugau
Bugau merupakan nama sebuah bukit yang ada di Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang. Orang Bugau mendiami daerah aliran Sungai Ketungau bagian hulu dari Kecamatan Ketungau Hulu, yaitu di Kampung Senaning, Sungai Antu, Engkeruh, Rasau, Sebuluh, Lubuk Pucung, Pangkalan Parit, Riam Sejawak, Jasa, Wak Sepan, Birong, Rentong, Nyelawai, dan Kedang Ran.
Bahasa yang mereka turukan adalah bunyi-bunyi [ay] pada akhir kata. Mereka sendiri menyatakan bahwa bahasa mereka termasuk dalam bahasa Benadai, bahasa yang dituturkan oleh orang-orang di sepanjang Sungai Ketungau. Orang Bugau ini diperkirakan berjumlah 4.844 orang (data diolah berdasarkan sumber data statistik kecamatan tahun 2003). Asal-usul orang Bugau secara mitologis dapat dipaparkan sebagi berikut. Manusia pertama kali diciptakan oleh Yang Mahakuasa melalui malaikatnya dari sejenis kayu yang disebut kayu kumpang . Manusia ciptaan dari kayu kumpang itu hanya bisa berteriak. Ia tidak menjadi manusia yang sempurna.
Melihat kayu tersebut tidak menjadi manusia, maka diciptakan lagi manusia dari pangkal pisang luran dan tanah alau. Dari bahan itu dibentuk dua manusia, yaitu satu berbentuk laki-laki dan yang satunya perempuan. Calon manusia itu ditaruh di atas piring dan ditutup dengan selimut. Selama tujuh hari lamanya, piring yang berisi calon manusia itu ditaruh di persimpangan jalan tujuh simpang. Selama itu pula para malaikat datang dengan membawa tombak dan parang. Mereka mengacu- ngacukan tombak dan parang itu ke calon manusia tersebut. Maka calon manusia itu pun memekik.
Yang dibentuk laki-laki menyebut diri Muga dan yang perempuan menyebut diri Rama. Mereka menyebutkan nama-nama itu karena merasa seakanakan diancam dengan tombak dan parang yang diacukan kepada diri mereka. Walaupun berbentuk manusia dan dapat memekik, kedua calon manusia itu belum menjadi manusia yang sempurna.
Namun demikian telah memiliki keturunan yang belum sempurna pula. Setelah tujuh keturunan, maka manusia yang belum sempurna itu mulai menurunkan manusia “purba”. Mulai saat itulah manusia baru diakui betul sebagai manusia dan memiliki adat. Karena ada adat inilah maka manusia tidak lagi bertingkah seperti hewan. (silsilah manusia dayak Bugau dapat dilihat di buku MOZAIK DAYAK
Dari berbagai turun-temurun itu, ada beberapa tokoh yang cukup menonjol dalam cerita lisan. Misalnya Bui Nasi yang membawa manusia pada kebiasaannya untuk memakan makanan pokok nasi. Tokoh Putong Kempat kawin dengan Aji Melayu pada zaman Majapahit. Keturunan mereka inilah yang menjadi orang Melayu.
Dalam cerita asal-usul tersebut sebenarnya ada kejanggalan yang dirasakan oleh orang-orang Bugau, misalnya tokoh Putong Kempat yang merupakan salah satu tokoh dalam penciptaan manusia pertama kawin dengan Aji Melayu yang merupakan orang dari Jawa pada masa Majapahit. Cerita asal-usul orang Dayak ini putus di sini. Tidak ada yang tahu kelanjutan cerita asal-usul tersebut.
Tiba-tiba saja ada cerita bahwa orang Dayak itu berteman dengan makhluk halus yang bernama Buah Kana. Buah Kana itu walaupun makhluk halus namun dapat dikatakan seperti manusia. Waktu itu Buah Kana dan manusia hidup dalam satu rumah betang. Kini bekas-bekas rumah panjang (tembawaitembawai) yang ditempati Buah Kana dan manusia itu banyak terdapat di Sekapat (Ketungau Tengah), Lubuk Lidung (Ketungau Tengah), Sungai Kelintik, Sungai Idai (Ketungau Hulu), Tampun Juah di Hulu Sungai Saih (Kabupaten Sanggau), dan masih banyak lagi.
Dari rumpun Buah Kana itu ada yang tidak suka dengan manusia, tetapi ada juga yang suka. Oleh karena itu, Buah Kana mengadakan bada’, yaitu memberi tanda-tanda yang dibuat dari darah atau kotoran yang dipercikan ke rumah-rumah. Tanda-tanda itu tidak serempak. Apabila tanda yang diberikan dari darah maka rumah-rumah akan terpercik-percik dengan darah, begitu juga jika tanda yang dibuat dari kotoran. Semua tanda itu merupakan peringatan bahwa sudah tiba saatnya antara Buah Kana dengan manusia harus berpisah. Apabila tidak diindahkan maka bada’ itu dapat menyebabkan peperangan atau sampar.
 17.Dayak Buket
Dayak Buket berada di Kecamatan Kedamin, di bagian timur Kabupaten Kapuas Hulu. Jika dilihat dari jumlah populasinya, subsuku Buket dapat dikatakan merupakan suku terkecil di kabupaten ini.
Mereka hanya terdapat di dua kampung saja. Satu kampung bermukim di hulu Sungai Mendalam, yaitu Kampung Nanga Uvat (dalam tulisan administrasi pemerintah Nanga Ubat). Kampung yang satunya bermukim di hulu Sungai Kapuas, yaitu di Kampung Mate Lunai. Dua kampung ini dikelilingi wilayah pemukiman orang Dayak Punan dan Kayaan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupannya karena tidak bisa terhindar dari interaksi sosial sehari-hari.
Perkawinan campur dari ketiga suku ini sudah lama terjadi. Bahkan, saat penelitian ini dilakukan banyak juga gadis Dayak Buket yang menikah dengan orang Melayu dan memeluk agama Islam.
Orang Buket, sebagaimana juga suku Dayak yang lain di Kapuas Hulu, sangat ramah terhadap orang tanpa membedakan etnis. Mereka juga terbuka dan tidak memiliki rasa curiga. Sebagi contoh, jik ada tamu yang baru pertama kali datang ke rumah mereka dan baru mereka kenal maka mereka akan bertanya tentang agama tamu tersebut.
Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan hidangan yang perlu mereka siapkan. Untuk kelompok Muslim mereka harus menghindari untuk menyuguhkan makanan atau minuman yang sifatnya haram. Tampak di sini kepekaan mereka terhadap orang lain.
Di luar orang Muslim, tradisi makannya dianggap sama saja dengan tradisi makanan mereka. Suku Buket meskipun tinggal jauh di pedalaman (kira-kira 800 kilometer dari Kota Pontianak), tetapi jarak ini tidak menghalangi bagi peneliti luar dan misionaris untuk melihat lebih dekat berbagai aspek kehidupan suku ini.
Beberapa orang yang masih diingat orang Buket sebagai peneliti yang telah mendatangi suku ini ialah Pastor Lensen dan Brown (1950) dari Misionaris Katolik, Tuan Boher (1965 dan 1968), Prof. Dr. Hendro Sudagung dari Universitas Tanjungpura, Pontianak (1981), Bernard Sellato (1979), dan Thambia Santi dari Universitas Kingdom (1996).
Suku Buket pada zaman dulu terbagi ke dalam tujuh kelompok. Pembagian ini didasarkan pada karakter setiap kelompok. Namun demikian, setiap kelompok ini mempunyai pemukiman tersendiri. Adapun tujuh kelompok yang dimaksudkan ialah sebagai berikut.
  1. Tevulu (memiliki sifat ramah dan terbuka. Pada saat memarahi anaknya,mereka tidak mau di depan orang banyak/tamu)
  2. Helangi (lebih senang tinggal di hulu sungai)
  3. Tain Kiat (memiliki sifat nakal)
  4. Koyan (memiliki suara yang lantang dan bergema)
  5. Heloy (nakal dan bandit)
  6. Derungu (memiliki sifat pendendam)
  7. Tuga Apua (memiliki sifat adaptif )
Ketika mendengar makanan sagu sebagai makanan pokok di alam Kalimantan, terlebih bagi suku Dayak, mungkin terdengar aneh. Bagi masyarakat Indonesia, umumnya sagu dikenal sebagai makanan pokok orang Maluku. Namun, bagi Dayak Buket (juga Punan) pada masa lampau, sebelum tahun 1950-an selain hidup sebagai pengembara dari kawasan yang satu ke kawasan lainnya, makanan pokok mereka ialah sagu dan daging yang semuanya terdapat di hutan.
Namun sejak tahun 1949-an ketika mereka tinggal di Nanga Menilai pada masa kepemimpinan Temenggung Jemala, barulah suku Buket mengenal beras. Konon, cara berladang itu diajarkan oleh subsuku Dayak Punan yang lebih dulu mengenalnya. Sejak itulah mereka juga mengenal pola pertanian perladangan yang hingga saat ini mereka geluti untuk memenuhi kebutuhan primer mereka.
Keberadaan Dayak Buket di Kalimantan Barat sebagaimana telah disinggung di atas, hanya tersebar di Kampung Mate Lunai di wilayah bagian hulu Sungai Kapuas dan di Kampung Nanga Uvat bagian paling hulu Sungai Mendalam. Dua kampung ini terpisah cukup jauh jaraknya yang diperkirakan kurang lebih 30 kilometer.
Pada rentangan jarak ini pun hampir seluruhnya terdiri dari kawasan hutan rimba dan bukit-bukit. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua kelompok orang Buket ini tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Namun, kelompok ini malahan dapat berkomunikasi dengan suku Punan. Mengenai
jumlah penutur/populasi suku Dayak Buket sebagaimana dijumpai dalam penelitian ini tidak lebih dari 600 orang saja. Wilayah penyebaran lainnya juga terdapat di Kalimantan Timur, yaitu di Naha Tivab yang penduduknya diperkirakan hanya 200 orang. Populasi subsuku ini yang cukup besar terdapat di Malaysia.


 18. Dayak Bukit-Talaga
Subsuku Dayak Bukit-Talaga adalah salah satu dari subsuku Dayak yang terdapat di Binua Talaga, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Bahasa yang dituturkan oleh suku Dayak Bukit Talaga adalah Bahasa Talaga-Ngabukit. Bahasa ini lebih dikenal dengan nama bahasa Banana’ atau Ba’ahe. Di bukit tempat mereka bermukim terdapat pepohonan talaga. Hal ini menyebabkan masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan Panamukng Talaga. Dalam bahasa Indonesia disebut bukit atau Gunung Talaga. Penduduk yang tinggal di sekitar Binua Talaga tersebut menyebut diri mereka Urakng Bukit Talaga atau orang Talaga.
Wilayah penyebaran subsuku Dayak Bukit Talaga terdapat di wilayah adat Talaga atau Binua Talaga. Wilayah adat Talaga atau Binua Talaga merupakan wilayah yang dapat dianggap sebagai tanah asal-usul. Buktinya, suku-suku Dayak yang ada di wilayah sekitarnya, seperti Samih, Sangku’, dan sekitarnya merupakan pindahan dari wilayah adat Talaga.
Menurut pembagian wilayah pada zaman dulu, wilayah adat Talaga terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Talaga Timawakng dan Talaga Samahung. Adapun kampung-kampung yang tergabung ke dalam wilayah adat Talaga adalah Kampung Aur Sampuk, Saginah, Saleh, Bakabat, Pate, Agak Angkabakng, Palanyo, Kase, Bingge, Sahapm, Palanyo, Po’o’, Kase, Nangka, Padakng, Palo’an, Asong, Palah, Tembok, dan Sapatah. Menurut data kependudukan pada tahun 1998, jumlah mereka ada 25,328 jiwa.
Tanah asal-usul Dayak Bukit Talaga memang berada di Binua Talaga tersebut. Nenek moyang orang Talaga yang bernama Nek Jarayatn bertempat tinggal di sekitar Bukit Talaga. Keturunan beliau akhirnya menyebar sampai ke Binua Samih, Nahaya’, Sangku’, dan binua-binua di sekitarnya. Jadi penduduk Samih, Nahaya’, dan Sangku’ juga termasuk keturunan dari Nek Jarayatn.
Asal Usul, Sejarah dan Penyebaran
Letak Geografis
Masyarakat Dayak Bukit merupakan salah satu suku Dayak Bukit yang berdomisli di kampung Palo’atn, Asong, Palah Padakng, Saleh, Bakabat, Saginah, Tembok, Sindur dan banyak lagi kampung yang lain-lainnya Binua Talaga Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat.
Tipe permukaan tanahnya dengan banyak gunung gunung berbukit-bukit juga tanah dataran. Jarak Pontianak Binua Talaga sekitar 120 KM, perjalanan melalui jalan darat / jalan Internasional Kalimantan Barat Malaisya Serawak dapat menggunakan mobil dan bisa juga melalui jalur air ialah Sungai Temila berpangkalan di kampung Sepatah sampai di Kota Pontianak. Kalau mengunakan jalan darat hanya memakan waktu sekitar 2 jam setengah sampai tiga jam sudah sampai di Binua Talaga Senakin.
Sejarah dan Legenda Asal Nama Gunung Telaga dan asal mula penduduknya
Talaga adalah nama tumbuhan yang sangat banyak terdapat di gunung itu. Besar kemungkinan oleh karena nama tumbuhan itulah makanya gunung itu diberi nama Gunung Talaga. Dan juga gunung itu banyak kampung-kampung yang letaknya menglilingi gunung tarsebut, dan dikepalai oleh satu orang Timanggong sebagai Kepala Binuanya. Lalu Binua tersebut diberi nama Binua Talaga. Tumbuhan ini pula sangat diperlukan sebagai pelengkap alat budaya bagi suku Dayak Bukit antara lain untuk membungkus nasi’ bontokng. Panjang daunnya tumbuhan ini kira-kira tujuh sampai dengan sepuluh senti meter dan lebarnya kira-kira lima senti merter. Beginilah asal muasalnya nama Gunung Talaga dan nama Binua Talaga. Baiklah dibawah ini kami sebagai penulis akan memaparkan dari mana asal mulanya penduduk Binua Talaga.
Pada asal mulanya berasal dari “Binua Aya” sebanyak rombongannya 7 kepala keluarga yang dikepalai oleh Ne’ Galeber dan istrinya yang bernama Ne’ Anteber. Inilah asal mulanya penduduk Pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Barat dengan mengunakan rakit yang terbuat dari buluh munti’ ( Semacam bambu besar dan tebal kulitnya). Yang pindah di Kalimantan Barat pada waktu itu hanya tujuh kepala keluarga.
Adapun keluarga Damiang dengan keluarga Ranggarumun bukan termasuk keluarga Ne’ Galeber, tetapi orang yang sepaham dan termasuk masih satu bahasa. Menurut dongengnya dari Binua aya’ berlayar melaju ditiup oleh angin sehingga rakit mereka bergerak menuju lautan dan melintasi beberapa ribu pulau. Ketika tiba saatnya, rakit Nek Galeber terdampar di pantai Kalimantan, tepatnya di daerah yang sekarang disebut Kabupaten Ketapang. Tempat rakit mereka terdampar itu sampai sekarang namanya Sikulantikng (Sikulanting), dari kata lantikng (Rakit). Mereka datang di Kalimantan Barat ini diperkirakan tahun 700 Tarik Masehi.
Sewaktu Ne’ Galeber tidur pada malam harinya ia bermimpi demikian bunyi- nya. Hai, Galeber!. Pindahlah engkau dari sini. Pindahlah ke Gunung Bawakng dan disitulah nanti engkau berkembang biak. Ikut sertakanlah kaum kerabatmu yang mau mengikutimu. Dan, bagi yang tidak mau mengikutimu, biarkanlah berkembang biak ditempat ini juga, sebab tempat ini juga tetap saya lindungi dan saya pelihara kata Ene’ Daniang (Tuhan yang Maha Esa) dalam mimpinya.
Pada siang harinya Ne’ Galeber menceritakan tentang mimpinya pada kaum kerabatnya. Setelah mereka bermusawarah, ternyata ada dua kepala keluarga yang ingin tetap tinggal di Sikudana. Ne' Da’iang dengan Ne’ Ranggarumun. Inilah yang menjadi Nenek Moyang suku Dayak yang menjadi penduduk di Daerah Ketapang.
Rombongan Ne’ Galeber yang lima kepala keluarga berangkat menuju di Gunung Bawakng sekarang di Daerah Kabupaten Bengkayang. Setelah sebulan lamanya menempuh perjalanan menuju gunung Bawakng barulah sampai. Disitulah mereka yang lima kepela keluarga tadi berkembang biak.
Oleh karena penduduk Bawakng sudah bertambah banyak, Timbulah keinginan Ne’ Jamang untuk mencari tempat hunian yang baru. Niat hatinya ini dimusawa- rahkannya dengan kaum kerabatnya dan mendapat pesetujuan. Namun rupanya bukan semuanya kaum kerabatnya mau pindah ke Keongkandang. Kaum kerabat yang mau ikut dengan Ne’ Jamang menuju gungung Keongkandang Antara lain Ne’ Jamang dengan istirnya dan beberapa keluarga yang lain. Setelah mereka sampai di Keong-kandang di tempat inilah mereka berkembang biak menjadi penduduk Keongkandang yang Pertama.
Setelah keturunan Ne’ Jamang berkembang biak di gunung Keongkandang, timbulah keinginan Ne’ Dinggan, Ne’ Ngeba, Ne’ Aden ingin pindah di Binua Talaga menempati hutan yang masih perawan. Katakanlah selembar daun kayupun belum pernah dijamah oleh manusia. Sejak dari perpindahan Nanek Moyang mereka yaitu Ne’ Galeber, yang mula-mula menginjakan kakinya di pulau Kalimantan belum ada suku ataupun bangsa yang lain menghini Bukit ini. Setelah sampai di gunung Talaga mereka memilih tempatnya masing-masing, sehingga terjadi perpecahan tempat penghunian. Ne’ Dinggan mendiami Tajur Tangkadi’, Ne’ Ngeba mendiami Mototn Caling, Ne’ Aden mendiami Mototn Sisara. Inilah sekilas sejarah singkatnya asal mula suku Dayak Buklit yang menjadi penduduk di Binua Talaga.
Struktur Sosial
Secara umum, struktur suku Dayak Simpakng tergolong egaliterian, tidak mengenal adanya tingkatan atau strata sosial seperti yang terdapat pada masyarakat yang mengenal golongan bangsawan dan rakyat jelata.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Kanayatn Di Binua Talaga memegang peranan yang amat penting. Sistem kekerabatan ini dikenal dengan sistem page waris (keturunan/keluarga). Ini terlihat apabila terjadi perkara atau pesta. Page waris yang bersengketa diminta kehadirannya untuk mendengar atau memecahkan perkara. Pada saat pesta page waris mendapatkan gundal (undangan) untuk mengikuti pesta. Namun sistem page waris ini pada tradisi masyarakat tidak mengenal garis keturunan ibu (matrilineal) ataupun dari keturunan ayah (patrilineal). Sistem kekerabatan pada masyarakat ini berdasarkan keseimbangan keduanya. Misalnya pada saat akan berlangsungnya pesta perkawinan. Kedua pihak, baik pihak ayah maupun ibu, secara sama mendapatkan gundal. Gundal yang diberikan secara, seimbang yaitu 15 gundal dipihak ayah dan 15 gundal pihak ibu. Contoh lain pembagian warisan dalam satu keluarga. Masyarakat Dayak Kanayatn tidak mengenal warisan hanya jatuh pada pihak laki-laki atau perempuan saja. Kesemua anak dalam satu keluarga mendapatkan warisan, namun lazim biasanya anak yang tertua dan yang terbungsu mendapatkan warisan yang lebih besar.
Yang masih tergolong waris mulai garis keturunan pertama sampai garis keturunan ketujuh. Namun garis keturunan ini terdapat dua kategori yaitu: •waris sama’ (keluarga dekat), • waris jauh (keluarga jauh). Yang masih tergolong waris sama’ yaitu satu pusat (adik beradik) sampai dengan dua madi’ ene’ (antara kakek dua beradik). Sedangkan waris jauh yaitu dua madi’saket(antara kakek sepupu sekali) sampai dengan page (sepupu enam kali). Secara rinci garis keturunan tersebut sebagai berikut:
  1. Satu pusat atau tatak pusat, artinya satu ibu satu bapak (adik-beradik).
  2. Sakadiriatn/pupu sakali, artinya satu kakak.
  3. Dua madi’enek/pupu dua kali, artinya kakek adik beradik.
  4. Dua madi’saket/pupu tiga kali, artinya nenek sepupu sekali atau satu Kakek Uyut.
  5. Duduk dantar/pupu ampat kali, artinya antara kakak sepupu dua kali.
  6. Dantar page/pupu dua kali, artinya kakek keduanya sudah dua madi’ saket.
  7. Page/pupu enam kali, artinya kedua kakek sudah dantar page.
Garis keturunan yang kami sebut di atas dalam kehidupan masyarakat Kanayatn memegang peranan yang amat penting dalam sistem kekerabatan, perkawinan maupun adat-istiadat lainnya. Pembagian warisan buah-buah di tembawang, misalnya, melihat garis keturunan ini. Garis keturunan yang dekat biasanya mendapatkan warisan buah yang banyak.


Perkawinan
Masyarakat Dayak Kanayatn mengenal adat perkawinan yang diturunkan oleh Ne’ Matas dan Ne’ Taguh. Ne’ Matas untuk wilayah-wilayah seperti Kec. Sengah Temila, Darit dan wilayah-wilayah di sekitar sungai Landak. Sedangkan Ne’Taguh untuk wilayah-wilayah seperti Kec. Sebadu, Mandor, Toho, Menjalin, dan Karangan. Mengingat Binua Talaga terletak di wilayah Sengah Temila maka adat-istiadat perkawinan yang digunakan berasal dari Ne’ Matas. Dari adat perkawinan terungkap bahwa perkawinan dapat dilakukan apabila dari hasil baosol (menyelusuri asal-usul) dalam kegiatan bakomo ‘ (musyawarah keluarga) kedua belah pihak tidak ditemukan garis waris dekat (keturunan/keluarga/ kerabat dekat).
Ne’ Matas memberikan rambu-rambu bagi kedua belah pihak yang ingin mengadakan perkawinan. Perkawinan antar keluarga baru dapat diadakan apabila hubungan keluarga sudah mencapai garis keturunan yang kedelapan. Apabila perkawinan masih berada pada garis keturunan yang ketujuh yaitu page atau pupu 6 kali maka perkawinan masih dianggap sumbang, walaupun sudah jauh. Apabila terjadi perkawinan pada garis keturunan yang ketujuh ini, maka kedua belah pihak dikenakan sangsi adat yaitu adat pangarus.
Namun garis keturunan (lihat: Kekerabatan) yang paling kuat tidak boleh melangsungkan perkawinan yaitu garis keturunan ketiga: dua madi’ene atau pupu 2 kali. Untuk garis keturunan keempat sampai dengan ketujuh untuk saat ini sudah nampak longgar. Namun kedua belah pihak, walaupun berada pada garis keturunan keempat sampai dengan ketujuh, akan dikenakan sanksi.
Struktur Perumahan
Masyarakat Kanayatn yang bermukim, di Binua Talaga pada awalnya mengenal sistem perumahan dalam bentuk radakng (rumah panjang). Namum karena radakng ini dikecam sebagai tidak sehat dan rawan kebakaran, maka banyak radakng yang terdapat di wilayah ini dimusnahkan. Saat ini hanya tinggal 3 buah rumah panjang yang ada yaitu di Sahara, Bingge dan Jahingan. Rumah panjang kampung Sahapm, pusat kebudayaan Dayak Kanayatn
Organisasi Sosial
Masyarakat Adat Dayak Kanayatn memiliki organisasi sosial yang disebut kepengurusan Adat. Kepengurusan Adat ini terdiri dari Timanggong (Temenggung), Pasirah dan Panggaraga. Seorang Timanggong membawahi satu wilayah kekuasaan adat yang disebut Binua. Satu wilayah adat ini terdiri atas kampung-kampung. Dalam menjalankan tugasnya seorang Timanggong dibantu oleh Pasirah dan Pangaraga, yang terdapat di setiap kampung. Masing- maing Binua secara otonom mengurus wilayahnya sebawah kepemimpian Timanggong.

Dayak Butok adalah subsuku Dayak yang tinggal di hulu Sungai Kimbe (Sungai Kumba atau Sekumba). Mereka tinggal dalam satu kawasan yang termasuk ke dalam wilayah Desa Terabung. Tepatnya di Kampung Siding. Oleh karena itu, mereka juga sering disebut Dayak Terabung. Sebutan ini sesungguhnya keliru karena sebetulnya mereka masih satu nenek moyang dengan suku Dayak Tadietn sewaktu sama-sama berpindah dari Bukit Senujuh mudik ke hulu Sungai Kumba menuju Seluas.
Bahasa yang mereka tuturkan adalah bahasa Butok. Secara kebahasaan, bahasa ini tergolong ke dalam rumpun Bidayuhik (lihat Peta Wurm dan Hatorri, 1983). Mereka juga disebut Dayak Bidayuh. Dulunya, kampung orang Dayak Butok hanya di Siding. Namun kini, subsuku ini sudah menyebar ke kampung-kampung di sekitarnya, seperti di Kampung Merendeng, Sebujit, Kapot, dan Betung. Perbauran ini terjadi karena perkawinan dan perpindahan.
Jumlah penduduk Dayak Butok di Siding diperkirakan sekitar 1.000 orang. Menurut sejarahnya, Dayak Butok adalah sub-bagian dari kelompok Dayak Tadietn (Tadatn) sewaktu mereka masih bersama-sama berpindah dari wilayah Bukit Senujuh (Kampung Semaku’an) mudik ke hulu Sungai Sambas dan kemudian masuk Sungai Kumba. Mereka kemudian menetap di daerah Sentimo’.
Terakhir, mereka berpindah ke Seluas yang pada waktu itu masih kosong. Di Seluas, kedua kelompok ini masih bersama-sama karena mereka memang masih satu keturunan. Sewaktu berpindah mudik ke hulu Sungai Sekumba, terdapat dua cabang anak sungai. Yang satu menuju ke kanan, yaitu Sungai Biay (Sungai Biang) dan yang satu menuju ke arah kiri, yaitu Sungai Kimbe (Sungai Kumba). Di kedua anak sungai inilah kedua kelompok ini berpisah. Yang ikut anak sungai ke arah kiri, yaitu Sungai Kimbe menuju ke Kampung Siding. Mereka disebut Dayak Butok. Yang menuju ke arah kanan, yaitu ke Sungai Biay disebut Dayak Tadietn.
Karena sudah terpisah dengan kelompoknya, mereka kemudian menjalani hidup sendiri-sendiri dalam kelompok masing-masing. Pada mulanya mereka masih menjalin hubungan yang baik dengan Dayak Tadietn. Orang Tadietn kemudian bermusuhan dan berseteru dengan orang Butok sewaktu orang-orang Siding mencari kepala (bakayo) ke arah Kampung Dayak Tadietn serta mencuri kepala di sana. Seterusnya, sekalipun berasal dari nenek moyang yang sama, mereka tidak mau disebut sebagai satu suku.
Jadi faktor sejarah perpindahan dan tradisi mengayau ini yang membuat mereka terpisah menjadi subsuku yang berlainan.

6 komentar:

  1. saya asli dari kampung suti, (masyarakat dayak bubung) saya hanya ingin membenarkan tulisan tentang masyarakat bubung tadi, bahwa yang ditulis diatas sama persis dengan yang diceritakan oleh para pendahulu atau leluhur kami, .
    sangat luar biasa blog ini :)
    mungkin masih banyak suku2 dayak lainnya yg belum kita ketahui !!!

    BalasHapus
  2. terima kasih banyak,, blog ini sangat2 membantu saya dlam mngumpulkan brbagai informasi dri tiap rferensi mengenai tulisan2 ttng suku dayak,,
    mohon ijin di copy ya..,

    BalasHapus
  3. masih kurang lengkap pembagiannya menurut saya.

    BalasHapus
  4. masih kurang lengkap pembagiannya menurut saya.

    BalasHapus
  5. boleh tahu penulis blog ini siapa ya,

    BalasHapus

 

Blogger news

Blogroll

About